Seperti halnya sang ayah, Khomeini lulus dari sekolah teologi dan menjadi seorang ulama yang diakui kedalaman ilmu pengetahuannya. Sebagai guru sekolah agama, Khomeini bukanlah aktivis. Antara 1920-1940-an, dia hanya menjadi pengamat pasif ketika Syah Reza membawa Iran menjadi negara sekular dan membatasi para ulama. Begitu pula pada saat krisis 1950-an, Muhammad Reza Pahlavi (putra Syah Reza) pergi ke AS untuk menyelamatkan diri dari para demonstran yang menuntut reformasi demokratik, Khomeini tak terlibat. Pada masa itu Khomeini adalah murid ulama terkenal Iran, Ayatullah Muhammad Boroujerdi.
Namun ketidakterlibatan Khomeini dalam politik hanyalah sementara. Seperti halnya orang Iran lainnya, Khomeini gusar akan campur tangan asing di Iran. Para pemerintah asing itu selalu mendukung para pemimpin Iran yang mempromosikan kebijakan politik yang menurutnya melanggar tradisi Islam. Pada 1941 Khomeini menulis kepada pemerintah Pahlavi, “bahwa semua ketertiban yang dihasilkan oleh rezim diktator... tidaklah bernilai samasekali.”
Pada 1962, setelah kematian gurunya, barulah Khomeini menampakkan kegusarannya yang lama terpendam secara terang-terangan. Ia segera dikenal sebagai penentang yang tangguh bagi Syah Iran. Dia mengecam Syah karena kedekatannya dengan Israel, memperingatkan bahwa orang Yahudi selalu mencari kesempatan untuk mengambilalih Iran. Dia menentang rancangan undang-undang yang menjamin hak pilih perempuan sebagai tidak-Islami. Dari Kota Qum Khomeini terus menyerang kebijakan-kebijakan Shah yang banyak dipengaruhi oleh ide-ide Barat.
Pada 1964, Khomeini dibuang ke Turki oleh Shah, dan kemudian mendapat izin untuk berdiam di kota suci Syiah, An-Najaf di Irak. Tetapi perlawanan Khomeini tidak berhenti karena ia dibuang. Justru dari An-Najaf, Khomeini terus menentang Shah dengan mengirimkan kaset-kaset khotbah untuk dijajakan di bazar-bazar. Khomeini menyebarkan ide-idenya itu melalui jaringannya yang terdiri atas 12.000 murid.
![]() |
Khomeini kembali ke Iran, 1 Februari 1979 |
Di An-Najaf pula Khomeini merancang sebuah doktrin revolusi. Sembari mengecam sikap Syah yang menjadi budak AS dan negara sekular yang menyimpang, Khomeini menuntut pembentukan negara yang dipimpin para ulama. Pada akhir 1978, terjadi demonstrasi besar di jalanan Teheran yang menuntut Syah mundur. Para mahasiswa, kelas menengah, pedagang, pekerja, dan militer rupanya sudah tidak berpihak kepada penguasa. Syah kembali meminta tolong kepada Washington, namun langkah ini makin menyebabkan ia tidak disukai rakyat.
Pada Januari 1979 Syah keluar dari Iran. Dua minggu kemudian, Khomeini kembali ke Iran dengan kemenangan. Mata dunia terus terpusat kepada keberanian Khomeini menantang Barat dan keberhasilan revolusi Islam. Pada November, misalnya, para pengikut Khomeini dengan semangat anti-AS menguasai Kedubes AS dan menyandera 52 orang. Pada Desember konstitusi baru memproklamasikan Iran sebagai republik Islam dan Khomeini sebagai imam dan pemimpin tertinggi. Pemerintah Iran dirancang oleh para ulama dengan menegakkan hukum Islam.
Khomeini membuat heboh dunia ketika memfatwa mati pengarang Salman Rushdie yang menulis Ayat-Ayat Setan yang menghina Nabi Muhammad Saw. Khomeini meninggal di Teheran pada 3 Juni 1989, beberapa bulan setelah fatwa itu dikeluarkan. Jutaan orang Iran mengalir ke jalan-jalan untuk mengantarnya ke peristirahatan terakhir.
(Sumber: Sang Pemimpin, Ready Susanto, Penerbit Bejana, 2010)